Ditulis oleh : Semar Vision Research Team
Hari ini 30 Maret 2024 tulisan tentang Perkembangan bioskop, film dan propaganda tahun 1946 hingga 1990 di Yogyakarta ditulis, menjadi momentum penting bagi insan perfileman Indoensia untuk merayakan 62 tahun yang lalu, hari film Nasional. Lebih dari sekadar selebrasi, hari film Nasional berlandas pada penyikapan tentang arti sesungguhnya menjadi bangsa Indonesia. Yogyakarta menjadi provinsi penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Tahun 1946 bioskop Permata dibangun dan mulai beroperasi (Aji 2022), pada tahun yang sama menjadi masa kejayaan kembali bioskop di Yogyakarta atas keterpurukannya pada era penjajahan Jepang. Tahun 1946 hingga sekitar 1948, bioskop mulai bemafas kembali dimana pemerintah saat itu menggunakan bioskop tak hanya sebagai sarana komersial belaka melainkan juga sebagai program untuk mencari dana perjuangan (Kurnia 2004). Kala itu Yogyakarta menjadi Ibu Kota Indonesia sementara.
Geliat kota pelajar menjadi salah satu pemicu bangkitnya bioskop di Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM), Sekolah Tinggi Islam (STI), Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Akademi Musik Indonesia (AMI) dan perguruan tinggi lainnya. Kebangkitan bioskop di Yogyakarta tidak saja dipengaruhi oleh hal-hal yang terjadi di Yogyakarta, tetapi juga dipengaruhi agenda-agenda besar Negara, misalnya maraknya festival film Asia Afrika ketiga di Jakarta menyambut dua puluh dua delegasi, termasuk sejumlah negara Afrika yang baru saja didekolonisasi dan Front Pembebasan Revolusioner Vietnam Selatan (Razlogova 2021). Pada 10 September 1946 didirikan Komisi Pemeriksaan Film untuk mengusahakan agar film yang diputar menganut faham rakyat dan bersifat mendidik. Salah satu film yang penting untuk dibahas pada tahun 1946 adalah film dokumenter yang diproduksi oleh Badan Perfilman Indonesia berjudul Indonesia berjuang untuk merdeka. Film ini dibawa ke PBB untuk mendapatkan pengakuan atas kedaulatan Indonesia. Pada tahun itu Yogyakarta dapat disebut sebagai ibukota media, karena Yogyakarta dianggap sebagai tempat yang aman yang memungkinkan terjadinya interaksi ekonomi, pengetahuan, budaya dan politik. Para pelaku kreatif dari berbagai daerah di Indonesia juga saling berinteraksi dan memperluas jaringan lokal, nasional, dan internasional (Satya 2015).
Sultan Yogyakarta pun memiliki andil dalam merumuskan kebijakan perfilman. Kebijakan tersebut terkait dengan klasifikasi film yang patut ditonton oleh rakyat. Di samping itu, Sultan juga mengumumkan garis-garis kerja dan fungsi badan sensor. Inti seruannya menyangkut penerapan sensor untuk segala penerbitan, sandiwara dan sebagainya dan urgensinya dalam menenyeleksi media agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, kekacauan dan melembekkan perjuangan Bangsa. (Arief, I997, hal. 100-102). Pada tahun 1948 di Notoprajan Jogja, didirikan lembaga pendidikan film bernama Cine Drama Institute, berlanjut pada tahun 1951 didirikan Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) yang kemudian melahirkan Tokoh penting dalam dunia perfileman Indonesia, seperti Teguh Karya dan Arifin C. Noer. Maraknya perfilman di kota pelajar sejumlah bioskop yang menghiasi kota seperti bioskop Indra berlokasi Jalan Malioboro, bioskop Mataram di jalan Dr. Sutomo, bioskop Permata di jalan Sultan Agung, bioskop Widya di jalan Ibu Ruswo, bioskop Empire di jalan Urip Sumoharjo, bioskop Ratih di jalan Mangkubumi, bioskop Regent di jalan Urip Sumoharjo, bioskop Senopati di jalan Panembahan Senopati, bioskop Mitra di jalan C Simanjutak, bioskop Soboharsono di timur laut alun alun utara. Tahun 1950 film Darah dan Doa karya Umar Ismail menjadi film pertama yang resmi diproduksi oleh rumah produksi Indonesia yang diputar di bioskop Jogja, disusul film Enam djam di Jogja, meski film impor masih mendominasi. Pada tahun 1950 juga lahir film propaganda berjudul Images of Soekarno dalam film tersebut digambarkan suatu representasi “Bapak” (Alkhajar, 2013). Soekarno pada pemerintahannya menjadikan film sebagai salah satu sarana untuk menyebarkan jiwa nasionalisme kepada seluruh masyarakat, namun pada akhir pemerintahannya, gejolak politik terjadi. LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) mengganyang habis-habisan semua film yang diproduksi oleh Amerika yang diimpor ke Indonesia.
Tumbangnya pemerintahan orde lama. Tahun 1965 hingga 1970 yang disebut dengan 'masa-masa sulit'. Gejolak politik G30S PKI yang menyertai periode ini membuat pengusaha bioskop menghadapi dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialis (Kurnia 2004). Proyek film Kopkamtib pada 15 April 1969. Proyek ini diharapkan dapat memproduksi film-film dokumenter sebagai media perang urat syaraf dalam melawan musuh-musuh, baik yang ada di Indonesia maupun luar negeri (Heryanto, 2014). Dibuatlah dua film yang mengangkat peranan kecil Suharto dalam perang militer dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, lahirlah film dengan judul Janur Kuning dan Serangan Fadjar. Soeharto benar-benar menjadi tokoh sentral dan menjadi pusat narasi dari cerita yang disajikan dalam film, sementara tokoh lainnya yang notabenenya diambil dari tokoh riil hanya sekadar menjadi peran pembantu semata (Irawanto, 1999:180) film propaganda lain dari Orde Baru adalah Pengkhianatan G 30 S/PKI, film ini menjadi tontonan wajib bagi siswa setiap setahun sekali (malam 30 September) diputar di stasiun TVRI. Pada tahun 1970-1990-an film ini wajib diputar di seluruh bioskop, pemerintah juga memanfaatkan media bioskop keliling sebagai ujung tombak distribusi film hingga pelosok desa (Safitri, 2022). Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu film yang berhasil menyedot penonton terbanyak (Alkhajar, 2013). Film yang ditulis dan disutradarai oleh lulusan ASDRAFI Yogyakarta Arifin C Noer ini sangat ’luar biasa’ mengkultuskan pribadi Soeharto sebagai tokoh penyelamat bangsa (Djarot, 2006: 1). Menurut Eros Djarot, film ini merupakan sebuah rekonstruksi visual yang dicomot langsung dari kepala Soeharto, superhero satu-satunya dalam film tersebut.
Gejolak teknologi canggih dan persaingan. Periode antara 1970 hingga 1991, tahap ini ditandai dengan perbioskopan Indonesia yang mulai menghadapi kemajuan teknologi dalam bidang bioskop, sekaligus munculnya pembajakan video tape. Suburnya pembajakan video tape ini berkaitan langsung dengan semakin banyaknya masyarakat memiliki video tape recorder yang memungkinkan mereka menikmati film dengan santai di rumah masing-masing (Kurnia 2004). Pada masa akhir pemerintahan Soeharto, industri perbioskopan di Kota Yogyakarta mengalami kelesuan. Adanya persaingan antar bioskop, buruknya kepengelolaan dan sistem distribusi. Kemunculan siaran televisi swasta yang lebih atraktif dan maraknya peredaran VCD bajakan. Krisis moneter, naiknya seluruh harga dalam berbagai bidang, membuat produksi perfilman surut dan harga pendatangan film impor yang semakin mahal menjadikan bioskop-bioskop kekurangan pemasokan film. Kurangnya perhatian dari pemerintah menyebabkan bioskop-bioskop hanya dianggap sebagai sarana bisnis yang kurang penting bagi daerah. Beberapa faktor tersebut menyebabkan mundurnya industri perbioskopan di Kota Yogyakarta pada tahun 1990-an.
Film tetap hidup, tepat di barat jalan bioskop Permata, Jl. Jayeng Prawiran Purwokinanti Pakualaman Yogyakarta, lahir filmmaker besar yang turut memberi warna perfilman Indonesia, Garin Nugroho. Setelah film berjudul Cinta dalam Sepotong Roti tahun 1990, Garin mendapat penghargaan film Terbaik di Festival Film Indonesia tahun 1991. Lalu film keduanya, Surat untuk Bidadari tahun 1992 yang berhasil membawa namanya ke panggung film internasional. Hingg kini Garin Nugroho terus membuat film dan memberi penggaruh pada capaian perfilman Indonesia. Demikian tulisan tentang perkembangan bioskop, film dan propaganda tahun 1946 hingga 1990 di Yogyakarta. Semoga tulisan ini mampu memberi refleksi pada pembaca, betapa penting peran Yogyakarta pada perkembangan film Indonesia.
Daftar pustaka.
Alkhajar , Eka Nada Shofa. 2013. FILM SEBAGAI PROPAGANDA DI INDONESIA. Journal.unnes.
Djarot, Eros. 2006. ”Sejarah, di Antara Kebenaran dan Pembenaran” dalam Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI. Jakarta: Media Kita.
Fauzi Mizan Prabowo Aji, 2022, EKSISTENSI BANGUNAN BERSEJARAH DI ERA KONTEMPORER. STUDI KASUS: LANDMARKING BIOSKOP PERMATA YOGYAKARTA, Sinektika Jurnal Arsitektur.
Heryanto, Ariel. 2014. Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. NUS Press dan Kyoto University Press.
Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi dan Militer, Hegemoni Militer dalamSinema Indonesia. Yogyakarta: Media.
Kurnia Novi, Budi Irawanto, Rahayu. MENGUAK PETA PERFILMAN INDONESIA. KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARJWISATA REPUBLIK INDONESIA, JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FISIPOL UNIVERSITAS GADJAH MADA, FAKULTAS FILM DAN TELEVISI INSTITUT KESENIAN JAKARTA, 2004
Razlogova , Elena. 2021. Cinema in the Spirit of Bandung: The Afro-Asian Film Festival Circuit, 1957-1964, The Cultural Cold War and the Global South.
Safitri, Ilmiawati. 2022. PERJALANAN BIOSKOP KELILING DARI MEDIA HIBURAN HINGGA PROPAGANDA. UIN Sunan Kalijaga.
Satya ,Rizky Eka. The Capital City of Indonesian Films (1946-1949), PSDMA Nadim at Department of Communications UII. 2015. https://communication.uii.ac.id/yogyakarta-the-capital-city-of-indonesian-films/
